Jumat, 15 Juli 2011

[FanFiction] Choco Cookies Is Belong to Pinky



author : kim cherry
genre : friendship and romance (maybe)
casts : 
- Dong Ho [U-Kiss]
- Yora [OC]
- Alexander [U-Kiss]
- Jenny [OC]

aaaahhh..... setelah berbulan-bulan tidak aktif di blog ini, akhirnya saya pun bisa memposting ff oneshoot pertama saya :D oke, silahkan dibaca dan pleaseeeee banget setelah baca,  untuk meninggalkan komen kalian ^^ 

HAPPY READING GUYS !!!




Aku benar-benar seperti orang gila sekarang! Senyum-senyum sendiri, lalu tiba-tiba tertawa sambil melompat-lompat diatas kasur! Untung saja, aku sedang sendirian di kamarku. Kalau tidak, aku pasti telah dibawa ke rumah sakit jiwa saat ini juga.


Aku bukanlah orang gila dengan saraf-saraf di otakku yang telah putus, tapi aku menjadi gila karena orang itu. Orang yang sedang melakukan sedikit peregangan di depan rumahnya. Dia menggunakan pakaian longgar tanpa lengan, celana pendek yang longgar juga, lalu ada handuk putih yang menggantung di lehernya. Keringat yang mengalir di wajahnya, sama sekali tidak menganggu ketampanannya. Dia masih terlihat sangat tampan.

Setiap hari, tepat jam enam pagi, dia selalu melakukan kebiasaan itu di depan rumahnya. Dan aku menjadi orang yang paling setia menemaninya. Walaupun dengan cara seperti ini. Hanya dengan memperhatikannya dari balik jendela kamarku yang berada di lantai dua. Rumah kami bersebelahan, jadi dengan begini, aku bisa mencuri pandang padanya tanpa ketahuan. Aku terlalu pemalu untuk menatap matanya langsung.

Mungkin dia merasa kalau ada seseorang yang selalu memperhatikannya dari sini. Terkadang dia berbalik kebelakang dan melihat-lihat jendela kamarku atau jendela rumahku yang lain. Aku pun bersembunyi, dan setelah kulihat lagi, dia telah berbalik seakan tidak ada apa-apa.

Tapi hari ini berbeda, dia berbalik sambil tersenyum padaku, bahkan aku belum sempat untuk bersembunyi. Tubuhku kaku dan tak bisa bergerak untuk beberapa detik. Ketika dia mulai berjalan untuk melihat lebih dekat, aku baru tersadar kalau dia telah mengetahui keberadaanku. Segera aku melarikan diri dan bersembunyi dibalik selimut. Padahal tanpa bersembunyi dibalik selimut pun, dia tidak akan bisa melihatku diatas kasur. Aah.. begini jadinya kalau salah tingkah.

Itu sebabnya kenapa aku senyum-senyum sendiri dan melompat-lompat diatas kasur seperti orang gila. Senyumnya manis sekali. Aku memang sering melihatnya tersenyum manis seperti itu pada orang lain. Tapi kali ini dia tersenyum padaku. Benar-benar senyum yang tulus untukku. Andai aku bukanlah gadis yang pemalu, aku pasti akan membalas senyumnya dengan senang hati.

Di sekolah pun begitu, kebetulan di tahun ini aku sekelas dengannya. Awalnya aku sangat takut dan selalu menghindarinya. Tapi tanpa melakukan ‘penghindaran’ itu pun, dia tidak akan melihatku, apalagi mengajakku berbicara. Bahkan menyapaku saja kalau kebetulan kami masuk ke kelas secara bersamaan. Seingatku itu baru terjadi tiga kali selama setengah tahun ini.

Walaupun selalu menghindarinya, tapi bukan berarti aku tidak memperhatikannya secara diam-diam. Aku masih melakukan itu disela-sela pelajaran. Dan aku tau kalau dia selalu tertidur di jam pelajaran matematika, fisika, dan kimia. Jadi aku selalu menyalin catatanku kembali ke kertas lain, lalu kuletakkan di mejanya. Itu juga kulakukan secara diam-diam. Untung saja dia tidak pernah membuangnya setelah tidak ada yang mengakui catatan itu, dia selalu menyimpannya di dalam tas sambil tersenyum. Semoga saja senyuman itu mengartikan bahwa dia senang mendapatkannya.

Terkadang aku iri pada Xander. Dia bisa sangat mudah bergaul dengan Dongho. Aku sering sekali melihat mereka berbincang bersama. Bermain bersama, bercanda bersama. Bahkan ke kantin pun bersama. Pasti sekarang Xander telah sangat dekat dengan Dongho. Padahal kan Dongho itu termasuk orang baru di sekolah. Di lingkungan rumah juga. Xander lah orang pertama yang aku lihat dapat menerima Dongho sebagai temannya.

Seperti saat dia dapat menerimaku sebagai teman bermainnya. Ya, jika mengingat masa lalu, Xander itu sempat menjadi teman baikku. Mungkin bisa aku bilang sahabat. Dia menemaniku bermain petak umpet. Mengenalkanku pada anime Jepang. Dan juga menceritakan padaku tentang pengalamannya yang pernah ke Seoul dan Beijing. Lalu, ketika kami telah memasuki sekolah menengah pertama, dia mulai menjauhiku dan lebih memilih untuk bermain bola kaki bersama anak laki-laki lain yang juga tinggal di Komplek yang sama dengan kami. Dia bilang aku terlalu  perempuan. Padahal kan wajar saja! Aku ini kan memang perempuan, tentu saja aku seperti perempuan! Jika aku seperti laki-laki, itu baru aneh. Tapi, aku tetap menghargai keputusannya, kok. Memang berbahaya jika dia hanya bermain denganku terus. Untungnya, dia tidak benar-benar memutuskan persahabatan kami. Setidaknya kami masih berteman, walaupun tidak sedekat dulu.

Maka dari itu, aku akan memanfaatkannya sebaik mungkin. Kebetulan hari ini dia pulang melewati depan rumahku, jadi langsung saja aku hadang dia. Mungkin aku bisa mendapatkan sedikit informasi tentang Dongho darinya.

“ada apa?” tanyanya datar. Apa dia tidak senang bertemu dengan teman lamanya ini?
Aku melipat tanganku di depan dada dan memanyunkan bibir, “kenapa wajahmu seperti itu? Tidak senang, ya?”

“wajahku memang seperti ini dari dulu.” Katanya. “kalau tidak ada hal penting lagi, menyingkirlah! Aku harus segera pulang.”

Dia berlenggang dengan santai dan meninggalkanku. Aku berbalik dan mendapatinya telah melewati rumah Dongho.

“Xander, tunggu!” panggilku dengan sedikit menjerit.

Berhasil. Dia menghentikan langkahnya dan berbalik kembali dengan malas. “ada apa lagi?” tanyanya. Dengan nada yang malas juga. Seakan aku ini lalat penganggu yang telah membuatnya sangat jengkel.

“ada sesuatu yang ingin aku tanyakan. Boleh tidak?”
“hem... apa?”

“kau dan Dongho kan sudah sangat dekat sekarang. Bahkan kemana-mana pun sepertinya selalu bersama.”

“hem.”

“kau juga sepertinya tau banyak hal tentang Dongho.”

“hem.”

“err... dan aku yakin, kau tidak akan keberatan kan jika aku bertanya sesuatu tentang teman baru-mu itu?”

“heemm....”

“kenapa kali ini nadanya berbeda?”

“sebenarnya kau ini ingin bertanya apa, sih?” sungutnya. Dan aku tau ada nada kesal disana. “langsung to the point saja! Jangan berbelit-belit begini!”

“iya, maaf.” Huuh! Dia tidak pernah berubah! Selalu saja suka marah-marah. “kira-kira.... Dongho itu.... suka apa, ya?” tanyaku dengan sangat hati-hati.

“dia suka makanan yang manis, dan tidak suka makanan yang pedas. Soalnya, ketika aku menawarinya kimchi, dia menolaknya mentah-mentah.” Jawabnya, bahkan lengkap dengan apa yang tidak disukai Dongho. “ngomong-ngomong, kenapa kau bertanya tentang Dongho?”

“heh?”

Aduuh..... bagaimana ini? Sepertinya dia telah mulai curiga. Xander memang sangat pintar membaca sikapku yang mulai aneh.

“jangan-jangan kau....” dan kini dia telah menunjukkan senyuman aneh itu. Senyuman yang paling aku benci darinya. Senyuman yang mencurigaiku dan menggodaku untuk mengatakan yang sebenarnya. “.... suka pada Dongho, ya?”

Dan pertanyaan itu pun keluar. Aku harus segera mengelak agar Xander tidak mengetahuinya. Bisa gawat kalau sampai itu terjadi. Dia akan meledekku habis-habisan. “aah... tidak! Kau ini ada-ada saja! Jangan membuat gossip, ya!”

“benarkah? Lalu untuk apa kau bertanya seperti itu? Hah?”

“emm.... itu hanya...”

“tuh, kan! Kau sangat gugup!” godanya. “cieeee.... Yora suka pada Dongho! Yora suka pada Dongho!” ledeknya dengan nada dan tarian-tarian yang tidak jelas.

Dasar Xander!!! Badannya saja yang bertambah besar tapi kelakuannya masih seperti anak-anak!

“hey! Hentikan!!!” perintahku, dan mulai mengejar dirinya agar ia segera menutup mulutnya yang besar itu! Bagaimana pun juga, kami kan berada dekat dengan rumah Dongho! Nanti kalau dia mendengarnya bagaimana? Aku kan malu.

Hingga akhirnya, hal yang kutakutkan sejak tadi terjadi juga. Tanpa sengaja Xander menabrak Dongho yang baru saja keluar dari rumahnya. Pasti dia terganggu dengan suara ribut kami.
“Xander? Sedang apa kau?” tanyanya.

“Yora suka padamu, Dongho!”

Tuuuuhh kan..... dia pasti memberi taunya! Aduuh... aku harus bagaimana? Dongho sekarang sudah melihat ke arahku. Aku malu sekali.

“tuh, lihat! Wajahnya sudah semerah tomat!”

Ooh... tidak! Xander, tolong hentikan ledekan itu! Kau membuat wajahku bertambah merah. “Xander..... hentikan!!!” perintahku  lagi. Tapi dia malah menjulurkan lidahnya dan kabur! 

Sekarang hanya tinggal aku dan Dongho disini. Aah... aku tidak tahan! Aku harus segera masuk ke dalam rumah saat ini juga.

“hey!” panggilnya. Tapi sama sekali tidak kupedulikan. Mana bisa aku berbicara padanya setelah ia tau bahwa aku menyukainya.

***

Aku tau, tidak seharusnya aku bersikap seperti kemarin pada Dongho. Kalau aku menyukainya, aku harus menyatakannya. Dan kalau aku malu untuk menyatakannya, setidaknya aku harus menunjukkannya. Tapi bagaimana caranya? Melihat matanya saja aku tidak sanggup.

Aku juga tau, semakin lama aku berdiam diri, dia bisa-bisa diambil oleh perempuan lain. Dan aku hanya bisa menangis pasrah, melihatnya bergandengan tangan dengan perempuan lain.
Tidak! Aku tidak mau sampai itu terjadi! Aku harus menunjukkan perasaanku padanya. Maka dari itu, siang ini aku akan memberikan sesuatu untuknya. Seperti yang dikatakan Xander kemarin, bahwa Dongho menyukai makanan yang manis. Jadi, aku akan memberikannya sepotong biskuit cokelat. Aku juga memasukkan biskuit itu kedalam plastik dan kuberi pita berwarna pink, warna kesukaanku. Aku harap dia menyukainya.

Tapi aku tidak berani memberikannya secara langsung, mungkin kalau diletakkan di dalam kotak surat-nya tidak akan apa-apa. Dia pasti mengecek kotak surat-nya setiap hari, kan? Ya, tentu saja.

Setelah merasa yakin keadaan aman, aku mulai membuka kotak suratnya dan memasukkan biskuit itu kedalamnya, lalu menutupnya kembali. Sampai sekarang keadaan masih aman.

“Ya Tuhan, aku harap Dongho membuka kotak surat-nya hari ini.” Pintaku sambil memejamkan mata.

“untuk apa?”

Mataku terbelalak lebar. Suara siapa itu? Sangat familiar ditelingaku. Aku pun berbalik ke belakang untuk memastikan.

Oh tidak! Itu memang suara Dongho! Dia melihatku dengan ekspresi datar. Badannya menyandar pada tembok rumah dengan lengan dilipat. Aku akui dia terlihat  lebih tampan jika dilihat dari jarak yang lebih dekat. Tapi ini bukanlah saatnya untuk mengagumi ketampanannya. Aku tertangkap basah olehnya! Tidak ada cara lain kecuali sesegera mungkin kabur dari sini.
Aku terus berlari tanpa tau aku ini menuju kemana. Padahal kan seharusnya aku pergi kursus. Tapi, karena terkejut tadi, aku malah berlari ke arah yang berlawanan dari tempat kursus-ku.
Aku pun sama sekali tidak menghiraukan teriakannya yang sejak tadi memanggil namaku. Namaku? Dia tau namaku? Darimana? Berkenalan saja tidak pernah. Aah... pasti karena kemarin Xander menyebut-nyebut namaku.

“Yora-ah!”

Teriaknya lagi semakin kencang. Ternyata dia juga berlari mengikutiku! Bagaimana ini? Aku tidak tau harus lari kemana lagi.

Hingga akhirnya aku malah sampai di taman kota. Nafasku terputus-putus dan aku memutuskan untuk beristirahat sebentar di bawah pohon yang rindang. Mungkin dia ketinggalan jauh dariku, karena sampai sekarang belum terlihat. Aku melirik jam tanganku untuk memastikan bahwa aku belum terlambat untuk pergi kursus. Ya, masih ada waktu sekitar sepuluh menit lagi untuk mengatur nafas.

“larimu cepat juga, ya!”

Suara itu lagi! Terdengar sekali bahwa nafasnya tidak beraturan. Dia pasti kelelahan karena mengejarku.

Aku berbalik dan melihatnya lagi-lagi menyandarkan tubuhnya, tapi kali ini pada pohon besar dan... tersenyum? Dia memperlihatkan biskuit coklat yang kuberikan tadi. Apa itu artinya dia senang?

“kenapa kau malah berlari?” tanyanya lantang, setelah menegakkan tubuhnya dan nafasnya yang kurasa telah teratur.

“aku... emh... itu... emm...” aku hanya dapat mengeluarkan gumaman-gumaman yang tidak jelas sambil mencari alasan yang tepat. Wajahnya terlihat bingung sekali. “ah, iya! Aku harus pergi kursus sekarang! Sampai jumpa!” tandasku sembarang dan mencoba untuk melarikan diri lagi. Tapi kali ini tidak berhasil! Dia menarik tanganku.

“kenapa sih kau selalu menghindar dariku? Aku terlihat menyeramkan, ya?”

Apanya yang menyeramkan? Wajahmu itu sangat indah dipandang, tau! Tapi aku tidak mungkin mengatakannya. Aku sangat malu.

“bukan begitu...” jawabku ragu, dan mencoba untuk mencari jawaban yang lebih bagus lagi.

“hey! Wajahmu memerah! Apa kau sedang sakit?” tanyanya panik. Dia mencoba untuk memeriksa suhu badanku dengan menempelkan tangannya pada dahiku, lalu dibandingkan dengan suhu badannya.

Aduh... saking malunya, wajahku telah memerah lagi sekarang. Aku tidak bisa lama-lama dekat dengannya.

“aku tidak apa-apa, kok! Emh... aku benar-benar harus pergi sekarang! Kursusku dimulai lima menit lagi! Emh... bye!” ujarku terbatah-batah dan segera berlari meninggalkannya.

“aku tunggu disini, ya!” teriaknya.

Tidak! Jangan tunggu aku, please! Aku tidak pulang lewat sini. Aku hanya bisa berteriak dalam hati saja. Karena waktu terus mengejarku. Dan aku tidak dapat berbuat apa-apa. Semoga saja nanti dia bosan dan segera pulang. Padahal kesempatan ini hanya terjadi satu kali dalam hidupku, tapi aku tidak dapat memanfaatkannya. Oh Tuhan, seandainya aku dihidupkan kembali menjadi seorang gadis yang lebih berani.

***

Hujan turun deras sekali, dia pasti telah pergi dari taman kota itu. Baguslah begini lebih baik. Tapi, apa tidak lebih baik lagi jika aku mengeceknya? Maksudku pulang melewati taman kota. Walaupun sedikit memutar. Aku hanya ingin sekedar  memastikan bahwa dia benar-benar telah pulang ke rumah. Aku tau, aku tidak boleh berharap terlalu besar. Karena kemungkinan dia masih disana hanya satu persen.

Baiklah, dengan payung yang baru aku beli di supermarket sebelah ini, aku akan pulang berjalan kaki dan melewati taman kota.

Jalanan sudah sangat becek dan menebarkan bau basah dimana-mana. Sepatu pink-ku kini telah berubah menjadi cokelat akibat terkena lumpur. Ooh... sepatu kesayanganku.

Aku rasa, kemungkinan satu persen yang kupegang tadi tidaklah sia-sia. Kalau saja memang benar saat ini aku tidak sedang berhalusinasi atau mataku yang memang tidak salah lihat. Oh Tuhan, benarkah pemandangan yang kulihat ini? Pria berambut pendek yang duduk di kursi taman itu, benar Dongho tidak? Dia duduk anteng disana tanpa menghiraukan air hujan yang telah membasahi tubuhnya. Dan dia masih memegangi biskuit dariku?

Segera aku berlari kesana untuk menghampirinya. Dia melihatku dengan mata yang sengaja disipitkannya karena air hujan yang menganggu pemandangannya.

“sudah pulang, ya?” serunya sambil berdiri.

Aku hanya dapat mengangguk ragu. Masih belum dapat mempercayai apa yang kulihat sekarang. Dongho, rela menungguku pulang kursus ditengah hujan yang deras begini.

“kenapa?”

Dia menaikkan sebelah alisnya. Entah bingung dengan pertanyaanku, atau dia tidak dapat mendengar suaraku karena gemuruh hujan.

“kenapa kau menungguku?” kuulangi dengan suara yang lebih besar.

“memangnya tidak boleh?” tandasnya. “Aku akan melakukan apa yang telah aku katakan. Jika tadi aku bilang akan menunggumu, aku pasti akan menunggumu disini! Seorang lelaki tidak boleh mengingkari perkataannya. Begitu kata ayahku.”

“hanya karena itu saja?”

“entahlah. Memang sepertinya ada suatu hal lagi. Tapi...... ah sudahlah! lupakan!”

Jawabannya yang kedua lebih membahagiakan hatiku. Walaupun aku belum tau itu apa. Tapi, bisa saja kan cinta menjadi salah satu daftar kemungkinannya dari beribu kemungkinan yang ada.

“ayo pulang! Sampai kapan aku harus menunggumu berhenti tersenyum selebar itu?”

Dia selalu saja begitu. Sudah membuatku terbang tinggi, dengan teganya dia menjatuhkanku lagi. Tapi tak apa, semoga saja ini bisa membuat kami lebih dekat. Dan pelan-pelan aku bisa menghilangkan rasa malu ini jika berada di dekatnya.

Tanpa isyarat apa-apa dariku, seenaknya dia mendekatkan diri padaku dan ikut berteduh dibawah payung kecil ini. Jantungku berdetak keras sekali, aku sampai takut kalau dia dapat mendengar detak jantungku ini. Dan bisa kupastikan, wajahku pasti lebih merah dari tadi siang.
Jadi, aku hanya berjalan sambil menunduk. Memperhatikan percikan yang dihasilkan dari sepatuku yang menepuk genangan air. Kami berjalan dalam diam. Tidak ada satupun dari kami yang mengeluarkan suara. Kecuali suara gertakan gigi saling beradu, yang kudengar sejak tadi. Tapi, aku kan tidak sedang menggigil. Atau jangan-jangan Dongho yang menggigil karena menungguku tadi?

Hmm... aku sudah khawatir setengah mati padanya. Ternyata aku hanyalah salah tanggap. Suara gertakan gigi itu memang berasal darinya. Tapi bukan  karena dia sedang menggigil kedinginan, melainkan sedang enak-enaknya melahap biskuit coklat dariku tadi. Aku jadi terkekeh sendiri melihatnya.

“kenapa memperhatikanku seperti itu?” sungutnya.

“tidak...”

Dia melahap biskuit itu kembali tanpa menawariku lagi. Ya, biskuit itu memang kutujukan padanya, jadi untuk apa lagi dia menawariku? Baguslah. Semoga saja itu berarti dia menyukainya.

***

Efek dari hujan-hujanan kemarin baru terlihat hari ini. Dia sibuk menyedot cairan yang hendak keluar dari hidungnya berkali-kali. Dan tentu saja, sepanjang pelajaran, suara yang terdengar selain suara guru yang sedang menjelaskan, adalah suara bersinnya yang juga ikut serta sebagai backsound.

Anak-anak di kelas juga sempat mentertawakan bersinnya yang terkadang terdengar aneh. Aku jadi merasa bersalah padanya, walaupun aku juga tidak ketinggalan tertawa karena bersinnya yang memang sedikit aneh.

Saat jam istirahat, aku tidak tega melihat dia tersiksa seperti itu. Jadi aku berusaha sekuat tenaga untuk memberanikan diri dan memberikan sapu tanganku padanya. Yang pasti sangat dibutuhkannya saat ini.

“pink?” tanyanya aneh saat aku memberikan sapu tangan kesayanganku ini padanya. Memangnya apa yang aneh pada warna pink?

“tidak masalah, kan? Emh... aku rasa kau sangat membutuhkannya saat ini.”

Dia segera mengambil sapu tangan itu dan menggantikan tangannya yang tadi menutupi hidungnya. “ini hanya karena kepepet!” tandasnya dan berlalu ke luar kelas.

Aku senang dia mau menerimanya.Walaupun tadi ada kata “kepepet” yang menandakan bahwa dia tidak sungguh-sungguh ingin menggunakannya. Setidaknya aku bisa membantunya dalam hal-hal yang kecil dulu.

***

Setiap pagi, aku jadi sering meletakkan biskuit cokelat itu di dalam kotak suratnya. Tentu saja selalu lengkap dengan pita pink-nya. Dan aku sangat senang karena selalu melihat dia melahap biskuit itu sebelum bel masuk berbunyi di dalam kelas. Dan yang membuatku lebih bahagia lagi, dia selalu melahapnya dengan tersenyum. Semoga saja, senyuman itu menandakan bahwa dia sangat menyukainya.

Aku harap ini adalah awal yang bagus dari rencanaku untuk menunjukkan perasaanku padanya. Lalu hubungan kami pun bisa lebih dekat. Ya, walaupun aku sedikit ragu untuk mencapai pacaran. Melihat dia tersenyum bahagia karena-ku saja, rasanya sudah lebih dari cukup.

Apalagi dia sampai mempercayaiku untuk menjadi tempatnya bercerita. Ya, seperti malam ini. Saat aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Entah kenapa rasanya mataku tidak mau terpejam meskipun telah kupaksakan berkali-kali. Aku jadi kesal sendiri, dan mencoba untuk menghitung domba yang melompat dalam khayalanku.

Sudah seratus domba yang melompat, tapi tetap saja mataku tidak dapat terpejam. Aku mulai gusar, dan memutuskan untuk menuju balkon saja. Berdiri sebentar disana, walaupun aku tau waktu telah menunjukkan pukul dua belas malam.

Dinginnya angin malam memang sangat berbeda. Menusuk sekali sampai ketulangku. Tapi rasa itu bisa dihilangkan dengan indahnya bintang-bintang yang bertaburan di langit hitam itu. Bulan sabitnya juga indah. Cahayanya yang tidak menyilaukan, membuatku betah untuk terus memandanginya.

Lalu, tiba-tiba saja pikiranku melayang pada Dongho. Apa yang sedang dilakukannya sekarang, ya? Aah... bodoh! Tentu saja dia sedang tidur nyenyak di kamarnya. Seakan ingin memastikan, aku menoleh ke balkon sebelah. Dan.... Astaga! Dia tidak sedang tidur seperti apa yang aku pikirkan tadi. Dia melakukan hal yang sama denganku. Menikmati pemandangan langit malam dengan tersenyum senang. Ooh... Aku tidak dapat berhenti memperhatikan senyumnya yang indah itu.

Hingga dia menoleh secara tiba-tiba, membuatku kaget setengah mati. Segera kualihkan pandangan ke arah yang berlawanan. Menahan malu karena ketahuan sedang memperhatikannya diam-diam. Untuk beberapa saat aku tidak dapat melihat ke arahnya. Setidaknya sampai aku yakin bahwa wajahku yang memerah telah kembali ke warna semula.
“Yora-ah!” serunya dalam nada berbisik. Ya, pasti dia tidak ingin membangunkan orang lain yang sedang enak-enaknya bermimpi indah.

Pelan-pelan aku memutar leherku untuk menanggapi panggilannya. Aku harap wajahku tidak lagi memerah, dan bisa bersikap biasa di depannya. Tapi, dengan sengaja dia melemparkan sebuah kaleng kosong padaku. Untung saja aku cekatan dalam tangkap-menangkap. Memang ringan sih, tapi kan bahaya juga jika mengenai kepalaku.

Kulihat dia mulai berbicara ke dalam kaleng kosong miliknya. Dari sanalah aku baru menyadari kegunaan barang ini. Dua kaleng kosong yang dihubungkan dengan sebuah tali. Ini adalah alat sederhana untuk dua orang berbicara tanpa dapat didengar oleh orang lain. Jadi, aku pun mendekatkan kaleng itu ke tellingaku. “pinky, kau bisa mendengar suaraku? Over.”
Dia berbicara seakan kami sedang menggunakan takie-walkie. Aku tersenyum geli mendengarnya.

“ya, aku bisa mendengarnya. Hey! Kenapa kau memanggilku dengan pinky? Over.”

“seperti di film-film action. Secret agent-nya selalu menggunakan kode nama setiap kali berkomunikasi dengan rekannya. Dan pinky itu adalah kode nama-mu.over.”

“ooh ..... kau terlalu banyak menonton film. Tapi, baiklah. Jika kode namaku pinky, lalu kau apa? Over.”

“aku.....” jeda beberapa saat, pasti dia sedang mencari-cari nama yang bagus untuknya. “choco cookies. Ya, choco cookies kepada pinky... choco cookies kepada pinky... haha... over.”

Choco cookies? Dari sekian banyak kata yang keren, kenapa harus choco cookies yang dipilihnya? Bolehkah aku berfikiran bahwa nama itu maksudnya adalah biskuit yang selalu kuberikan padanya? Oh, tolonglah! Jangan membuatku berharap terlalu banyak. Tunjukkanlah dengan jelas jika kau juga menyukaiku.

“err... ngomong-ngomong, kenapa kau belum tidur? Over.”

“kau sendiri kenapa belum tidur, pinky? Terkena insomnia mendadak,ya? Haha... Over.” Dia malah balas bertanya dengan candaannya yang menurutku tidak begitu lucu.

“mungkin bisa dibilang begitu...”

“hey, pinky! Ada sesuatu yang ingin kuceritakan padamu...”

“hey! Aku belum bilang over! Kenapa kau memotong pembicaraanku!” sungutku dengan aksen suara kesal. Padahal sebenarnya tidak. Mana bisa aku kesal padanya.

“kau juga barusan melakukan hal yang sama. Begini saja, hilangkan kata ‘over’ diakhir kalimat! Kita bicara seperti biasa saja.”

Dia yang memulai, dia juga yang menghentikannya. Terkadang aku tidak mengerti jalan fikirannya.

“baiklah. Lalu kita akan membahas apa?”

“bolehkah aku menceritakan sedikit masalahku padamu? Siapa tau kau bisa menemukan solusinya.”

Sepertinya dia sudah mulai serius. Aku sangat tegang sekaligus senang. Tegang untuk mengetahui masalah apa yang akan diceritakannya, dan senang karena dia menjadikanku sebagai orang yang dipercayainya untuk berkeluh-kesah. Aku tidak akan membuatnya kecewa.
“tentu saja. Apa masalahmu, choco cookies?”

“begini. Aku... sedang menyukai seorang gadis...”

Deg!

Jantungku rasanya seperti berhenti berdetak ketika mendengar kalimat yang dikatakannya barusan. Kakiku terasa lemas, hingga aku terduduk di balkon. Kurasakan tali yang tadi tertarik kuat, sekarang telah mulai melonggar. Itu artinya dia juga ikut duduk untuk menyeimbangi talinya.

“ada apa, pinky?”

Aku melihatnya yang sedang memperhatikanku dengan panik. Kupaksakan seulas senyum untuk memberikan isyarat bahwa aku baik-baik saja.

“tidak ada apa-apa. Lalu, bolehkah aku tau siapa gadis yang kau sukai itu?”

“itu.... aku malu mengatakannya.... mungkin setelah aku menyatakan perasaanku nanti, baru kuberitau padamu.”

Baguslah. Mungkin jika aku tidak tau akan lebih baik. Aku juga tidak sanggup untuk mengetahuinya.

“pinky, kau marah, ya?”

“ehh... tidak, kok. Aku mengerti kenapa kau malu mengatakannya. Lalu apa yang menjadi masalahnya?”

“aku... tidak tau bagaimana cara menyatakan perasaanku padanya.”

“kau meminta pendapatku?”

“ya. Tapi, kau hanya perlu menjawab beberapa pertanyaan dariku. Kau kan juga seorang perempuan. Jadi kau pasti lebih mengerti.”

“oke, kalau begitu.”

Terdengar dia menghela nafas terlebih dahulu. “kira-kira, perempuan lebih menyukai sesuatu yang romantis atau yang manis?”

Aku bingung harus menjawab apa. Walaupun sama-sama perempuan tapi tetap saja karakter kami berbeda.

“aku tidak tau dia orang yang seperti apa. Bagaimana aku harus menjawabnya?”

“jawab saja sesuai hatimu. Aku rasa kalian memiliki sifat yang sama.”

“kalau aku pribadi, aku lebih menyukai sesuatu yang manis. Aku tidak suka sesuatu yang romantis, karena aku rasa itu membosankan dan terlalu formal. Lebih baik sesuatu yang sederhana, tapi sangat manis untuk dikenang dan membekas di hati.”

“begitu ya? Baiklah. Selanjutnya kau lebih suka candle light dinner atau duduk di taman terbuka sambil menikmati indahnya pemandangan langit malam?”

“tentu saja, duduk di taman sambil menikmati pemandangan malam. Apalagi jika taman itu didekorasi dengan warna yang kusuka. Pasti sangat indah.” Ujarku sambil membayangkan, seandainya Dongho melakukan itu untukku suatu hari nanti.

“oke. Kau lebih suka laki-laki yang memainkan gitar atau yang memainkan piano?”

“sepertinya piano. Menurutku laki-laki terlihat lebih keren ketika sedang memainkan piano. Apalagi jika dia memainkannya sambil menyanyikan sebuah lagu untukku. Haha... aku menghayal terlalu tinggi, ya?”

“ah, tidak kok! Aku yakin, suatu hari nanti akan ada seorang laki-laki yang melakukannya untukmu.”

Aku tau itu adalah kalimat yang ditujukannya untuk menghiburku. Tapi, aku sama sekali tidak merasa lebih baik. Aku menghayalkan laki-laki yang akan memainkan piano untukku suatu hari nanti adalah dirinya. Tapi dia malah berbicara begitu.

“ya, aku harap begitu.” Jawabku seadanya.

“lanjut lagi, ya! Kalau memang aku harus memainkan piano, kira-kira lagu apa ya, yang bagus aku mainkan?”

“mmh... apa ya? Mungkin lagu yang bergenre ballad?” jawabku dengan volume suara yang mengecil. Aku rasa, aku sudah mulai mengantuk. Mataku mulai terasa berat. Badanku juga pegal-pegal. Ini pasti isyarat dari tubuhku yang menyuruhku untuk segera tidur.

“baiklah.  Sudah jam tiga pagi, pinky. Sepertinya kau sudah mengantuk. Lebih baik tidurlah sekarang!”

“iya, aku rasa juga begitu.” Aku mulai berdiri dan melihatnya yang tersenyum hangat padaku. Aku jadi malu dan hanya dapat membalas senyumnya itu sambil menunduk.

“terima kasih, ya!” ujarnya pelan. Walaupun berbisik, tapi aku masih dapat mendengarnya dengan jelas.

Aku mengangguk kecil dan masuk ke kamarku, setelah melemparkan kaleng miliknya kembali. Terima kasih, Tuhan! Aku sangat bersyukur karena malam ini tidak bisa tidur. Aku jadi memiliki malam yang sangat berharga, karena dapat bicara berdua saja dengan Dongho. Ya, walaupun aku juga mendapat kenyataan pahit, bahwa dia telah menyukai gadis lain. Dan bukan aku.

***

Setelah malam itu, aku jadi ragu untuk memberikannya biskuit seperti biasa. Tujuanku memberikan ini padanya kan adalah untuk menunjukkan perasaan suka-ku padanya. Tapi, ternyata dia sudah menyukai gadis lain. Dan kalaupun dia tau perasaanku yang sebenarnya, tidak akan mungkin dia lebih memilihku.

Apalagi setelah aku tau siapa gadis yang disukainya itu. Jenny, teman sekelasku juga. Sebenarnya belum pasti sih, apakah benar begitu. Tapi beberapa hari ini aku lihat Dongho sering menghampirinya dan berbincang-bincang dengannya. Bahkan terkadang, Jenny sampai tertawa lepas, entah apa yang dikatakan Dongho hingga dia bisa tertawa seperti itu. Ditambah dengan kencatikan Jenny yang jauh melebihiku. Membuatku semakin yakin bahwa gadis yang disukai Dongho itu memang benar Jenny. Mungkin maksudnya memiliki sifat yang sama denganku,  karena aku dan Jenny sama-sama masuk ekskul musik dan juga kursus di tempat yang sama.

Hhh.... hatiku sakit sekali melihat mereka begitu. Tapi, entah mengapa, hatiku juga tidak akan tenang jika tidak memperhatikan mereka. Selagi tidak ada yang tau, apa salahnya? Tapi, lagi-lagi Xander adalah satu-satunya orang yang menyadari sikap anehku.

“hey! Kenapa dari tadi kau memperhatikan Dongho dan Jenny seperti itu?” tanyanya, dan sekarang telah duduk disebelahku.

“aah... kau pasti tau kenapa.” Ujarku dengan sangat lesu. Lalu membaringkan kepalaku diatas meja. Kalau dia melihatku seperti ini, dia pasti tidak akan tega untuk meledekku.

“memangnya kau cemburu, ya?” tanyanya lagi.

“pikir saja jawabannya sendiri.” Kataku. “betapa sakitnya melihat Dongho melakukan pendekatan dengan orang yang disukainya.”

“hah? Jadi gadis yang disukai Dongho itu Jenny, ya?”

Aku menegakkan kepalaku kembali, “kenapa kau malah balik bertanya? Memangnya Dongho tidak cerita apa-apa padamu?”

“dia memang pernah bilang bahwa ada gadis yang disukainya. Tapi, dia tidak bilang kalau gadis itu adalah Jenny. Katanya dia malu untuk mengatakannya.”

“sama!!! Dia juga bicara begitu padaku!” kataku, tanpa sadar sedikit berteriak. Bahkan aku refleks berdiri dan sempat memukul meja. Membuat semua orang yang ada di kelas ini memperhatikanku.

“aaaaahh.......” gumamku dan segera membaringkan kepala kembali diatas meja. Namun kali ini posisinya menutupi wajahku. Karena, aku malu sekali. Dongho dan Jenny juga melihatku tadi.

***

Terkadang aku berfikir bahwa sebenarnya aku dan Dongho memang tidak pernah berjodoh. Dan sempat terlintas untuk segera melupakannya sebelum aku benar-benar sakit nantinya. Tapi, setiap kali aku berfikiran seperti itu, Dongho selalu saja datang dan berhasil membuatku kembali percaya bahwa sebenarnya dia juga menyukaiku. Seperti yang dilakukannya barusan. Dia datang menghampiriku dan menanyakan biskuit cokelat yang selalu kuberikan pada-nya.

“pinky, kenapa kau tidak pernah memberikanku biskuit cokelat lagi?” tanyanya ketika jam istirahat kedua tiba.

“kenapa kau masih memanggilku dengan pinky? Kita tidak sedang bicara melalui kaleng!”

“jangan mengalihkan pembicaraan! Ayo jawab! Kenapa kau tidak pernah memberikanku biskuit cokelat lagi?”

“emh.... aku... itu... emh... lupa. Ya, aku lupa. Beberapa hari ini aku sangat sibuk, sehingga lupa memberikanmu biskuit cokelat lagi.” Jawabku terbatah-batah sambil menggigit bawah bibirku. Sebenarnya aku berbohong. Aku tidak pernah lupa memberikan biskuit cokelat padanya, aku hanya takut.

“begitu, ya? Kalau tidak sedang sibuk, jangan lupa berikan aku biskuit cokelat lagi, ya! Aku rindu dengan rasanya yang manis itu.”

 Aku tersenyum dan mengangguk. “tentu saja.”

Aku serasa melayang di udara. Dia merindukan biskuit cokelat dariku? Senang sekali mendengarnya.

Sejak saat itu, aku meneruskan kebiasaanku yang sempat terhenti itu. Meletakkan biskuit cokelat di kotak surat-nya. Dan dengan hati yang bahagia, aku memperhatikannya menikmati biskuit cokelat dariku sambil tersenyum. Walaupun pemandangan indah itu sempat menjadi suram, karena Jenny yang datang menghampirinya dan mengajaknya bicara. Aku jadi malas memperhatikannya.

***

Aku baru saja hendak tertidur, ketika sebuah suara mengagetkanku. Suaranya berasal dari balkon kamar. Setelah ku periksa, ternyata bola plastik berwarna pink ini lah penyebabnya. Sepertinya ada seseorang yang sengaja melemparkannya ke kamarku. Aku segera mencari-cari siapa orang yang telah melakukan itu.

Ketemu! Pria yang berdiri disana itu dengan kedua tangannya yang dimasukkan ke dalam saku celananya. Tersenyum kepadaku dan beberapa saat kemudian melambaikan tangannya untuk menyuruhku turun dan menemuinya. Pria itu adalah Dongho.

Aku kaget, bahagia, dan heran melihatnya malam-malam begini datang ke rumahku. Tapi, tak kupedulikan itu semua. Secepat kilat aku mengambil jaket-ku dan membuka pintu kamar pelan-pelan. Takut suaranya akan membangunkan yang lain. Setelah merasa aman, aku menjinjitkan kaki dan berjalan hingga aku berhasil keluar rumah dengan selamat.

“ada apa?” tanyaku langsung. Karena aku tidak bisa berlama-lama diluar rumah. Bisa gawat kalau sampai mama dan papa tau. Apalagi kalau mereka melihat aku sedang berduaan dengan seorang pria. Walaupun itu Dongho. Tetanggaku sendiri.

“ikut aku!”

Dia menarik tanganku, agar aku ikut berlari bersamanya. Bahkan aku belum sempat untuk mengatakan iya atau tidak. Alhasil, aku pun pasrah. Tapi tetap saja aku terus melihat ke belakang berkali-kali. Untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang curiga. Jangankan curiga, kalau bisa memang tidak ada yang melihat. Kalau sampai ada, kami berdua bisa masuk koran dengan judul “seorang gadis diculik teman sebayanya di tengah malam” atau bisa saja “sepasang remaja yang masih duduk di bangku sekolah mencoba untuk kawin lari dengan cara melarikan diri di tengah malam”. Tidak! Aku tidak mau masuk koran dengan judul berita yang tidak keren seperti itu!

“kita sampai!” katanya.

Untuk beberapa saat, aku hanya bisa menganga lebar dan mengerjap-ngerjapkan mataku. Aku harap ini bukanlah mimpi. Tanganku menjadi sangat merah, karena aku mencubitnya berkali-kali. Dan aku bersyukur karena itu terasa sakit.

“bagaimana?” tanyanya. “suka tidak?”

Bagaimana aku tidak suka? Aku pasti akan menajdi pembohong besar jika berkata “tidak”. Ini indah sekali. Entah bagaimana caranya ia bisa menyulap taman kota menjadi tempat yang indah dengan warna pink disana-sini. Balon-balon berbentuk hati yang digantungnya diatas pohon, berwarna pink. Pita panjang yang menjuntai dari satu pohon ke pohon lainnya,  berwarna pink. Lampu tamannya juga berwarna pink. Bahkan kursi taman itu juga bercat pink. Pokoknya, semuanya serba pink. Hanya saja, ada sebuah benda yang dari tadi menarik perhatianku. Warnanya bukanlah pink, melainkan putih. Tapi tetap saja, masih ada aksen pink-nya pada pita-pita yang sengaja direkatkannya pada benda itu. Benda yang sangat aku suka dan aku pernah berharap suatu hari nanti akan ada seseorang yang memainkannya untukku. Benda yang bisa mengalunkan suara indah itu adalah, piano.

“pinky.” Panggil Dongho, dan aku refleks melihatnya.

Dia meletakkan sebuah rangkaian bunga di atas kepalaku. Sayangnya, saat ini aku sedang memakai pakaian tidur dengan sebuah jaket. Andai saja aku mengenakan mini-dress yang juga berwarna pink, aku pasti akan terlihat lebih cantik.

Aku hanya dapat tersenyum. Ia juga memeberikanku sebuah buku yang tidak terlalu tebal dengan cover yang lagi-lagi berwarna pink. Belum sempat aku membukanya, dia telah menyuruhku untuk duduk di kursi taman selagi ia berjalan menuju piano putih itu.

Aku telah menebak sebelumnya, namun tidak berani untuk berharap banyak. Dan untung saja tebakanku itu benar. Dongho memang benar-benar mewujudkan impianku. Impianku yang menginginkan seorang pria memainkan piano dengan lagu ballad untukku. Hanya untukku. Dia seperti memainkannya dengan sangat tulus, dan selalu melihat ke arahku dengan senyumnya yang manis itu. Apalagi dia juga menyanyikan sebuah lagu kesukaanku. Because of you yang dinyanyikan oleh Keith Martin. Hey, darimana dia tau kalau aku menyukai lagu itu?

Aku masih terus menikmati permainan piano dan nyanyiannya, hingga aku tersadar bahwa ia telah mengulangi lagu itu untuk yang kedua kalinya. Barulah aku teringat akan buku yang diberikannya padaku tadi. Mungkin ia menyuruhku untuk membacanya.

Aku sempat terkejut saat membuka lembar pertamanya. Tertulis dengan jelas namanya disana, Shin Dongho. Berarti ini adalah buku harian miliknya. Kenapa ia memperbolehkanku untuk membacanya? Ah, sudahlah! Yang paling penting, aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.

Lembar demi lembar telah kubaca. Dan disetiap lembarnya, aku selalu terkejut dibuatnya. Tidak percaya dengan kenyataan bahwa dia menulis semua itu. Lalu dilembar terakhir, dia menuliskan kalimat yang selalu aku tunggu-tunggu darinya. Dia menuliskan ....

“so, would you be my girlfriend?”

Aku mendongak. Senang sekali dia bisa mengatakannya juga , tidak hanya sekedar ditulis. Aku pun berdiri dan mengambil tangannya yang dijulurkan padaku.

“jadi sebenarnya...”

“ya, Yora bukanlah gadis yang aku suka, karena gadis yang aku suka adalah perempuan yang sedang berdiri di depanku sekarang.” Katanya. “Jadi bagaimana?”

Aku tersenyum, “offcourse.”

Setelah itu, kami duduk di kursi taman berdua sambil menikmati pemandangan malam. Persis seperti apa yang pernah ku kakatakan padanya malam itu.  Walaupun malam ini tidak ada bulan yang biasanya memperindah langit malam, tapi tetap saja langit itu terllihat indah dengan bintang-bintang yang bertebaran. Aku senang sekali, karena orang yang mewujudkan impianku ini adalah Dongho.

“oh, iya. Aku ingin tanya. Kenapa seorang laki-laki mempunyai buku harian?” tanyaku saat itu sambil tersenyum jahil.

“memangnya tidak boleh? Lagipula itu bukan buku harian, kok. emh.... itu seperti catatan kehidupanku.” Jawabnya.

“oooh.... begitukah?”

“tentu saja! kau ini kenapa, sih?” tandasnya yang telah merasa tidak nyaman.

“tidak... aku hanya bertanya. Hihihi...”


*The End*

4 komentar:

  1. aihh... lucu.. ><
    kalo baca cerita ini, jadinya ke inget sama pengalamanku.. ah~ inget lagi deh..
    Yora yang malu-malu itu dan kaya' nguntit orang, sama kaya' aku..

    Boleh saran?
    Menurutku sih, coba konfliknya lebih besar lagi. Jadinya nggak datar-datar aja..

    Tapi udah bagus kok.. :) Good Job

    -han hyun sang- wawa-

    BalasHapus
  2. hahah ga bermaksud buat ngingetin masa lalu loh wa -,-
    wah, makasih sarannya wa, kami bakalan berusaha untuk buat ff yg lebih bagus lagi
    makasih :DD

    BalasHapus
  3. tak apa lah ghe.. inget inget dikit.. hehe

    sama sama :)

    BalasHapus
  4. endingnya so sweet nian ghe :D,tapi kalau saran sih,coba penggambaran tokohnya kayak jenny dengan xander itu lebih mendetail,jadinya bisa lebih menghayati gitunah ghe xP
    cuma saran kok ghe :) #salma

    BalasHapus

Kalian sudah membacanya? Saran? Kritik?
Silahkan tulis komentar kalian ^^

Hargai karya author disini dengan komentar-komentar kalian ^^